Selalu Ada Alasan untuk Menulis (2)

Lebih jauh ke depan, menulis tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri. Dengan menulis banyak hal yang dapat kita berikan kepada orang-orang dan lingkungan sekitar kita, kepada masyarakat tempat kita tinggal, kepada negara yang kita cintai, sampai kepada sebuah peradaban yang mumpuni.

Dengan menulis kita dapat mengatakan segala gagasan pemikiran terhadap suatu hal dan menyebarkannya kepada orang banyak. Hal ini adalah alasan ke sekian untuk kita menulis. Sungguh amat disayangkan jika pemikiran kita hanya menjadi konsumsi diri sendiri. Lihatlah buku Max Havelar yang ditulis Edward Douwes Dekker (Multatuli) sebagai kritik kepada pemerintah Kolonial Belanda, pemikiran Soekarno yang tertuang dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, gagasan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan dalam buku Menuju Manusia Merdeka, buku-buku karya penulis Muslim yang mengusung tema Islam untuk mengenalkan dan mendekatkan masyarakat kepada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamiin. Saat ini pun media tulisan menjadi sarana perang pemikiran. Pemikiran-pemikiran sepilis (sekuluerisme, pluralisme, dan liberalisme) dan isme-isme lain yang menyesatkan banyak tertuang dalam bentuk tulisan. Dengan, salah satunya, media tulisan pula kita membantah pemikiran-pemikiran sesat dan menyimpang. Memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui karya tulisan.

Umat Islam pernah mencapai masa kejayaannya selama beratus-ratus tahun setelah Rasulullah wafat. Pada masa kekuasaan Khulafaur Rasyidin hingga Turki Utsmani, umat Islam telah melahirkan ilmuwan dan cendikiawan Muslim di berbagai bidang. Sebut saja al-Battani dalam ilmu matematika, al-Khawarizmi (Bapak Aljabar), Ibnu Sina (orang Barat mengenalnya dengan sebutan Avicena) di bidang kedokteran, Ibnu Batutah dengan catatan perjalanannnya ke berbagai tempat. Ilmu-ilmu mereka abadi dengan adanya tulisan. Hingga sampai saat Perang Salib yang kemudian ilmu para ilmuwan Muslim disalin untuk dibawa ke Eropa yang saat itu sedang mengalami masa Abad Kegelapan. Masa ketika ilmu pengetahuan sama sekali tidak berkembang karena kukungan gereja. Setelah mengadopsi ilmu-ilmu dari para ilmuwan Muslim, orang Eropa masuk kepada zaman pencerahan, zaman Reinansance. Berbagai alat-alat berhasil diciptakan dan beramai-ramai orang Eropa menjelajah dunia berbekal pengetahuan yang mereka ambil dari umat Islam.

Ilmu-ilmu para ilmuwan Muslim itu dapat diikat dengan tulisan. Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan Ikatlah ilmu dengan menulis. Mahasiswa sarjana satu tingkat akhir harus membuat penelitian lalu menuangkan hasil penelitiannya dalam sebuah karya ilmiah yang disebut dengan skripsi. Tidak hanya di tingkat akhir, selama perkuliahan mahasiswa harus menulis makalah atas suatu permasalahan tertentu yang sudah dibedah. Ya, hasil-hasil penelitian tersebut akan abadi jika dituangkan ke dalam tulisan berupa karya tulis. Hasil penelitian tersebut akan berguna dan dapat dibaca banyak orang serta dapat menjadi sumber rujukan. Selain mengikat ilmu, lagi-lagi dengan menulis kita dapat membagi ilmu dan pengalaman yang kita miliki kepada orang lain. Dengan begitu, ilmu akan semakin berkembang dan bermanfaat jika dapat diaplikasikan dengan benar di masyarakat. Di samping itu, manusia adalah makhluk pelupa. Dengan menulis, ilmu yang diperoleh dan miliki terpelihara. Ketika lupa, kita dapat melihat tulisan kita kembali untuk mengingatnya.

Di bagian awal tulisan ini, sudah disampaikan bahwa menulis adalah salah satu sarana untuk menyatakan ide, gagasan, pemikiran kita terhadap berbagai hal, pemikiran kita terhadap nilai-nilai yang kita anut sebagai pegangan dan pedoman hidup. Kita dapat mentransfer nilai-nilai kehidupan itu kepada orang lain salah satunya dengan menulis. Orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai agama dan norma kepada anaknya melalui bercerita dengan mengajak anaknya membaca buku.

Beberapa waktu lalu, ada kejadian heboh, penembakan di kantor majalah Charlie Hebro. Ada pihak-pihak yang menjadikan hal tersebut menjadi  sebuah pembenaran bahwa Islam adalah teroris. Padahal Islam adalah rahmatan lil alamiin, rahmat bagi seluruh alam, tidak hanya bagi Muslim. Padahal Muhammad Rasulullah tidak pernah mengajarkan kekerasan pada umatnya. Rasulullah dihadirkan ke dunia untuk menyempurnakan akhlak dan akhlak beliau adalah Al-Qur’an.

Jalan yang dapat ditempuh untuk meluruskan pandangan bahwa Islam sama dengan teroris, selain dengan akhlak yang baik, adalah dengan menyampaikan nilai-nilai Islam dan segala hal yang Rasulullah sampaikan melalui tulisan. Kita dapat bercerita tentang indahnya akhlak Rasulullah ketika menghadapi seorang Yahudi yang setiap pagi selalu meludahinya dan justru menengok ketika dia sakit. Kisah tentang pilihan seorang Muhammad ketika diberi tawaran sangat menggiurkan oleh Malaikat yang bersedia menumpahkan gunung kepada penduduk Thaif yang sudah melukainya hingga berdarah, namun Muhammad memilih untuk tidak mengambil tawaran tersebut. Ia memilih untuk mengatakan “Tidak. Semoga dari tulang sulbi mereka, lahir orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak berbuat syirik.” Juga pada saat Fathul Mekah, saat ketika Rasulullah mempunyai kekuasaan dan kesempatan besar untuk membalas dendam kepada orang-orang kafir Quraisy yang telah memeranginya selama 13 tahun di Mekah. Akan tetapi, Rasulullah mengatakan, “Pergilah kalian. Kalian aku bebaskan.” Ya akhlak Rasulullah begitu indah. Keindahan tersebut dapatlah kita sampaikan melalui tulisan-tulisan goresan tinta.

 

Leave a comment